Afrika Selatan kembali menegaskan posisinya TRISULA 88 sebagai pembela hak asasi manusia di kancah internasional. Pada April 2025, pemerintah Afrika Selatan secara resmi meminta Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk mengambil langkah mendesak menekan Israel agar menghentikan operasi militernya di Rafah, Gaza. Permintaan ini menandai babak baru dalam upaya hukum global untuk menghentikan kekerasan yang kian memburuk di wilayah Palestina.
Latar Belakang Permintaan Afrika Selatan
Rafah, sebuah kota kecil di Jalur Gaza, menjadi titik pusat eskalasi militer terbaru dalam konflik Israel-Palestina. Sejak awal 2025, pasukan Israel melancarkan serangan intensif dengan dalih menghancurkan infrastruktur Hamas, namun serangan tersebut menyebabkan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar, termasuk warga sipil, anak-anak, dan perempuan.
Afrika Selatan, yang memiliki sejarah panjang perjuangan melawan apartheid, memandang apa yang terjadi di Gaza sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Pemerintah Afrika Selatan menilai bahwa serangan Israel di Rafah berpotensi melanggar Konvensi Genosida 1948, yang bertujuan mencegah dan menghukum tindakan genosida.
„Serangan terhadap Rafah harus dihentikan untuk mencegah terjadinya penderitaan lebih lanjut terhadap rakyat Palestina,“ demikian pernyataan resmi dari Departemen Hubungan Internasional dan Kerjasama (DIRCO) Afrika Selatan.
Isi Permintaan kepada Mahkamah Internasional
Afrika Selatan dalam dokumen permintaannya kepada ICJ menekankan perlunya tindakan „darurat“ berupa penerbitan perintah penghentian serangan (provisional measures) terhadap Israel. Negara itu menyatakan bahwa serangan militer Israel di Rafah memperparah kondisi kemanusiaan yang sudah kritis, memperbesar risiko terhadap kehidupan dan keselamatan lebih dari satu juta penduduk Gaza yang sudah mengungsi.
Afrika Selatan meminta ICJ untuk:
- Mengeluarkan perintah kepada Israel untuk segera menghentikan serangan militer di Rafah.
- Memastikan akses bantuan kemanusiaan yang aman dan tanpa hambatan ke seluruh Jalur Gaza.
- Mewajibkan Israel melaporkan langkah-langkah yang diambil untuk mematuhi perintah ICJ tersebut.
Permintaan ini memperkuat gugatan yang sudah diajukan Afrika Selatan sebelumnya pada Januari 2024, yang menuduh Israel melakukan tindakan genosida terhadap warga Palestina di Gaza.
Respons Dunia Internasional
Permintaan Afrika Selatan mendapatkan dukungan dari sejumlah negara berkembang dan organisasi hak asasi manusia internasional. Banyak yang mengapresiasi keberanian Afrika Selatan membawa isu ini ke forum hukum tertinggi di dunia, menuntut akuntabilitas atas tindak kekerasan yang telah menimbulkan penderitaan besar.
Namun, negara-negara Barat sekutu Israel, seperti Amerika Serikat dan Inggris, menyuarakan keprihatinan atas langkah ini. Mereka menganggap permintaan tersebut dapat memperkeruh upaya diplomatik untuk mengakhiri konflik. Pemerintah Israel sendiri menyatakan bahwa operasi di Rafah adalah bagian dari „hak membela diri“ terhadap ancaman terorisme, dan menolak tuduhan adanya tindakan genosida.
Meski demikian, tekanan terhadap Israel terus meningkat, seiring laporan organisasi kemanusiaan yang menunjukkan bahwa serangan di Rafah menghancurkan fasilitas medis, sekolah, dan tempat penampungan, serta mengakibatkan jumlah korban sipil yang tak proporsional.
Makna Simbolis dan Praktis dari Langkah Afrika Selatan
Langkah Afrika Selatan ini tidak hanya penting dari segi hukum, tetapi juga simbolis. Sebagai negara yang pernah mengalami penindasan sistemik di bawah apartheid, Afrika Selatan kerap memosisikan dirinya sebagai juru bicara moral di panggung dunia, khususnya dalam isu-isu ketidakadilan global.
Upaya ini mencerminkan warisan kepemimpinan Nelson Mandela yang menekankan pentingnya solidaritas dengan rakyat tertindas di seluruh dunia. Bagi banyak pihak, tindakan Afrika Selatan mengingatkan dunia bahwa prinsip hak asasi manusia dan supremasi hukum internasional harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Dari sisi praktis, jika Mahkamah Internasional mengabulkan permintaan tersebut, Israel secara hukum wajib mematuhi perintah penghentian serangan. Meskipun ICJ tidak memiliki mekanisme langsung untuk menegakkan keputusan tersebut, perintah semacam itu akan meningkatkan tekanan diplomatik dan memperkuat isolasi internasional terhadap Israel.
Penutup
Langkah Afrika Selatan mengajukan permintaan mendesak ke Mahkamah Internasional untuk menghentikan serangan Israel di Rafah menandai fase baru dalam perjuangan hukum untuk melindungi warga Palestina. Meskipun hasil akhirnya masih belum pasti, inisiatif ini menegaskan pentingnya penggunaan instrumen hukum internasional untuk membela hak-hak korban kekerasan dan memastikan akuntabilitas di tengah konflik yang berkepanjangan.
Seiring dunia menanti keputusan ICJ, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah hukum internasional akan benar-benar mampu menjadi benteng perlindungan bagi rakyat yang paling rentan di zaman ini?
Apakah Anda juga ingin saya buatkan headline alternatif atau ringkasan singkatnya untuk kebutuhan lain?